Abstrak :
Tumbuhnya lembaga pendidikan di Indonesia bak jamur di musim hujan, kehadiran lembaga pendidikan di satu sisi membantu program pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran disebabkan kecendrungan sebagaian lembaga pendidikan yang nyaris mengabaikan substansi dan menghilangkan nilai-nilai sakral pendidikan. Pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah proses memanusiakan manusia, karena terjerembab dalam idealisme pragmatis yang tergadai aspek materi semata.
Dinamika Pendidikan utamanya pendidikan agama sejatinya sejak dini harus mempersiapkan generasi yang tangguh dalam menghadapi arus globalisasi yang sarat dengan berbagai muatan dan implikasinya. Agar tidak terjadi kesenjangan antara harapan dan cita-cita luhur pendidikan yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia di mata Tuhannya.
Sebab pada akhirnya, kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh model pendidikan yang dikembangkannya
Kata Kunci :
Pendidikan Islam – lembaga pendidikan – Globalisasi
PENDIDIKAN ISLAM
Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, paradigma Islam menuntut adanya desain besar tentang ontology, epistemology dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruks pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada prinsip-prinsip hakiki, yaitu prinsip at-Tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai world view Islam (pandangan dunia Islam) terhadap pendidikan.[1]
Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur`an dan al-Hadis. Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, rumusan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidak bersifat baku dan mutlak tetapi bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan kemampuan pikir dan daya nalar manusia mengkaji kandungan, nilai dan makna wahyu Allah. Al-Qur`an dan al-Hadis sebagai rujukan final telaahan, kajian dan sumber teliti filsafat pendidikan Islam merupakan kebenaran mutlak yang tidak mungkin dan tidak akan terjadi perubahan. Oleh karena itu, “kedua bentuk wahyu allah” tersebut menjadi dasar filsafat pendidikan sekaligus pula dasar pendidikan Islam.[2]
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba allah yang selalu bertaqwa kepadaNya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks sosial masyarakat, bangsa dan Negara, maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil `alamin, baik dalam skala kecil dan besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam tidak hanya idealisasi dari ajaran Islam dalam Pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu dapat dirumuskan harapan-harapan tertentu yang ingin dicapai dalam tahapan proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Tujuan-tujuan khusus itu direalisasikan dalam tahap-tahap penguasaan anak didik terhadap bimbingan yang diberikan dalam berbagai aspeknya: pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, keterampilan, atau dengan istilah lain kognitif, afektif, dan psikomotorik.[3]
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang:
Pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (Qs. Ali-Imran:191)[4]. Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Kedua, memperhatikan sifat-sifat dasar dasar (nature) manusia yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan, seperti fitrah, minat, sifat, dan karakter yang berkecenderungan kepada al-Hanif (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam sebatas kemampuan, kapasitas dan ukuran yang ada.[5]
Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern.
Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimensi ini mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki.[6]
Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi peserta didik. Tujuan akhir harus lengkap (comprehensive) mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai Islami dalam segala aspeknya, yaitu aspek normative, aspek fungsional dan aspek operasional. Hal tersebut menyebabkan pencapaian tujuan pendidikan tidak mudah, bahkan sangat kompleks dan mengandung resiko mental-spiritual, lebih-lebih lagi menyangkut internalisasi nilai-nilai Islami, yang di dalamnya terdapat Iman, Islam, dan Ihsan, serta ilmu pengetahuan menjadi pilar-pilar utamanya.[7]
Komponen-komponen tujuan pendidikan tersebut tidak hanya terfokus pada tujuan yang bersifat teoritis, tatapi juga bertujuan praktis yang sasarannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik. Hal ini dilakukan agar setelah menyelesaikan studinya, mereka dapat mengaplikasikan ilmunya dengan penuh kewibawaan dan professional mengingat kompetensi yang dimiliki telah memadai.[8]
Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi[9], tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi SAW sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral yang tinggi, Karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal dan ilmu praktis, tujuan tersebut berpijak dari sabda Nabi SAW yang artinya: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
Akhlak yang dimaksud pada Hadis tersebut adalah akhlak-akhlak Allah yang Maha Sempurna, yakni akhlak yang tertuang dalam asma al-Husna. Asma-asma itu sedapatnya diinternalisasi dalam kehidupan manusia sebatas kemampuan kemanusiaannya, artinya seluruh perilaku baik merupakan salah satu manifestasi dari asma-Nya, karena macam-macam asma al-Husna merupakan fitrah manusia, sebagaiman Hadis Nabi yang artinya: berakhlaklah kamu seperti akhlak Allah sebatas pada kemampuan kemanusiaan.
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
Pendidikan adalah sebuah proses pembentukan karakter manusia yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses budaya untuk membentuk karakter guna meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Dari wacana inilah, jelas pendidikan merupakan landasan bagi pembentukan karakter (character building) manusia, sekaligus karakter sebuah bangsa. Bagaimana perjalanan sebuah bangsa menuju masa depannya, hal itu akan tergantung dari pendidikan yang diterima oleh “anak kandung” bangsa bersangkutan. Dalam konteks inilah, pendidikan akan selalu berkembang dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Karena itu, pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan, jika tidak, pendidikan akan berjalan di tempat bahkan berjalan mundur. Bila itu yang terjadi, tunggulah kehancuran bangsa tersebut.
Pendidikan Islam saat ini tengah menghadapi tantangan yang tidak mudah diselesaikan. Pendidikan Islam tengah menghadapi tantangan modernisasi yang amat cepat, yang di satu sisi menciptakan era globalisasi yang menumbuhkan pemikiran-pemikiran global dan universal, tapi di pihak lain, modernisasi menciptakan kumpulan-kumpulan manusia ekstrim dan irrasional yang membentuk sekte-sekte sebagai counter product dari globalisasi pemikiran dan budaya.
Masyarakat modern dewasa ini ditandai dengan munculnya era pascaindustri seperti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi sebagai tahapan ketiga dari perkembangan peradaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tapi masyarakat modern juga menjumpai banyak paradox dalam kehidupannya. Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan, mestinya manusia makin besar kemampuan melakukan pengendalian umum. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, makin banyak informasi makin banyak yang tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar menyatakan bahwa abad informasi ternyata samasekali bukan Rahmat.[10]
Memasuki kehidupan era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta berkuasanya idiologi-idiologi modern seperti Marxisme, sosialisme atau nasionalisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, hedonisme, beberapa kalangan merasa pesimis akan masa depan agama. Begitu pula pada saat budaya modern yang bertumpu pada kemampuan manusia semakin merebak, tidak sedikit yang mempercayakan akan datangnya masa akhir perjalanan agama.
Tidak hanya terhadap agama, di era globalisasi ini kebutuhan terhadap guru pun akan lenyap. Kebutuhan manusia untuk memperoleh berbagai informasi dan pengetahuan sudah dapat dijumpai melalui berbagai sumber informasi, seperti buku, surat kabar, radio, televisi, internet, facebook, twitter dan sebagainya. Namun demikian, sejarah membuktikan bahwa agama tetap bertahan, sekalipun dalam masa pasca modern yang dikenal sebagai puncak pencapain peradaban manusia. Agama kini semakin diminati banyak kalangan, sebut saja: artis, olahragawan, politisi, birokrat, ilmuwan hingga biarawati dan pendeta yang masuk Islam.[11]
Tantangan-tantangan dan masalah-masalah internal pendidikan Islam pasca modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah sebagai berikut:
Pertama, jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan. Dengan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan dan politik pendidikan sejak tahun 1970-an dan peluang-peluang baru seperti diisyaratkan dalam paradigma baru pendidikan nasional, kini pendidikan Islam memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselenggarakan, yang setidak-tidaknya kini menyediakan empat pilihan: 1). Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din seperti yang ada dalam tradisi pondok pesantren. 2). Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag, 3). Sekolah Islam plus atau unggulan, 4). Pendidikan keterampilan.
Kedua, berkaitan dengan masalah pertama diatas adalah persoalan identitas diri lembaga pendidikan Islam tertentu.
Ketiga, penguatan kelembagaan dan manajemen.
Dalam mewujudkan quality education, badan penyelenggara pendidikan seyogyanya memberikan ruang gerak lebih besar kepada pelaksana pendidikan, khususnya kepala madrasah atau kepala sekolah Islam agar dapat mengorganisasi dan memberdayakan sumber daya yang ada untuk memberi dukungan yang memadai bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang maksimal dan dapat berkomunikasi secara teratur dengan badan penyelenggara pendidikan, guru, dosen, staf orang tua, masyarakat dan pemerintah.[12]
HAKIKAT GLOBALISASI[13]
Dari sisi teori dan definisi tampaknya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Akan tetapi dari sisi realitas hakiki, sesungguhnya ia merupakan gerakan yang telah dan sedang dilakukan oleh Negara-negara Barat sekuler untuk secara sadar atau tidak, menggiring kehidupan pada kehancuran peradaban.
Banyak sekali pakar sosial, terutama dari Barat sendiri, yang mengakui secara jujur realitas tersebut sambil membongkar kedok keculasan Barat dengan mengungkapkan berbagai fakta dan datanya. Richard Hibot dalam bukunya: Globalisasi dan regionalisasi mengatakan: globalisasi adalah sesuatu yang biasa kita sebut di dunia ketiga beberapa abad dengan istilah imperialisme. Sementara itu menurut Lafontaine, sebagaimana dikutip Revrisond Baswir, berbicara tentang globalisasi berarti berbicara tentang penyebarluasan neoliberalisme. Begitu pula sebaliknya. Penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme.
Globalisasi sesungguhnya hanya kedok. Di balik kedok globalisasi bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal. Globalisasi dengan konotasi itu merupakan penghambaan dan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia agar tunduk pada prinsip-prinsip barat yang rusak dan sesat. Globalisasi merupakan program yang bertujuan untuk mendayagunakan keunggulan teknologi sebagai alat untuk mengokohkan kedudukan kepentingan Negara adidaya (super power) memperbudak bangsa-bangsa lemah, menyedot sumber daya alamnya, meneror rakyatnya, dengan kata lain globalisasi merupakan gurita yang menelikung dan mencekik leher dunia Islam (termasuk dalam bidang pendidikan).
Sasaran yang dikumandangkan globalisasi adalah menghilangkan jarak dan batas serta perbedaan antara umat manusia yang berbeda-beda agar didominasi kapitalisme yang tanpa batas, dikuasai informasi tanpa batas. Dengan globalisasi semua keyakinan, pendapat dan pemikiran berbaur dan melebur dan yang tersisa hanyalah pemikiran materialisme Barat yang tiranik.
Lebih tegas lagi, bahwa globalisasi menginginkan agar setiap elemen dunia khususnya umat Islam melepaskan keyakinannya, prinsip-prinsipnya untuk kemudian mengikuti Barat dalam semua pola kehidupan mereka dalam bidang ekonomi, pendidikan, budaya, informasi dan bahkan bidang perundang-undangan.[14]
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI BENTENG ARUS GLOBALISASI
Pendidikan, sebagaimana halnya kegiatan dakwah yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad sejak awal tugas kerasulannya, merupakan upaya pencerahan bagi umat manusia untuk membangun kesadaran sebagai makhluk ciptaan Allah dan menjalankan pengabdian kepada Allah sang pencipta. Seluruh upaya yang dilakukan Nabi Muhammad dalam menjalankan wahyu Allah kepada umatnya diarahkan untuk mengajak, menuntun dan membimbing manusia ke jalan yang benar sesuai tuntunan wahyu. Upaya Nabi Muhammad tersebut dalam konsep pendidikan dewasa ini jelas merupakan sebuah proses pendidikan. Karena itu, pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan fungsinya dari misi kerasulan Muhammad dalam menjalankan tuntunan Al-Qur`an, wahyu Allah pencipta. Misi kerasulan Muhammad adalah misi Al-Qur`an itu sendiri untuk memberi petunjuk (hidayah), membedakan yang benar dan yang salah dan untuk mengajak manusia dari kegelapan kepada pencerahan dan cahaya yang akan membimbing manusia dalam menjalani kehidupannya.[15]
Masa depan itu penuh tantangan moral, penggoda yang merusak akhlak semakin banyak dan semakin intensif. Tetapi, belum ada antisipasi dalam kurikulum untuk menghadapi gejala seperti itu. Sampai akhirnya terjadi krisis nasional yang pada dasarnya disebabkan oleh krisis akhlak. Krisis akhlak itu berakar pada menurunnya keimanan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sistem pendidikan kita belum juga menyediakan kurikulum yang dikirakan mampu mempertebal keimanan anak didik. Teriakan bahwa akhlak remaja merosot memang sering dilontarkan oleh para pejabat, tetapi antisipasinya di bidang pendidikan belum ada. Pendidikan keimanan semestinya menjadi inti sistem pendidikan, bila tidak maka kemerosotan akhlak akan terjadi lagi dan krisis nasional akan terulang. Akankah kita terperosok dua kali pada lubang yang sama?
Pendidikan kita belum mengantisipasi zaman global yang merupakan zaman mega kompetisi. Mampukah lulusan kita berkompetisi. Mampukah lulusan kita berkompetisi secara sehat di abad ke-21?[16] Jangankan berkompetisi di zaman global, lulus dalam Ujian Nasional saja bagaikan mimpi di siang bolong, kasus Ujian Nasional 2010 merupakan cambuk keras bagi semua pihak yang concern terhadap nasib anak bangsa untuk merenungkan kembali model dan sistem pendidikan yang akan diterapkan. Belum lagi kasus merebaknya “pendidikan bodong” menunjukan kepada kecenderungan sebagian masyarakat untuk segera memperoleh gelar tanpa harus mengikuti proses pendidikan standar adalah contoh kongkrit ketidakbermaknaan pendidikan tersebut.
Menurut pandangan Islam, pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama bahkan dapat menghancurkan Negara bahkan dunia. Lulusan yang kurang imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman global.
Berdasarkan pemikiran yang berprespektif Islam tersebut pendidikan untuk masa depan haruslah memiliki kurikulum utama yang terdiri atas:
- Pendidikan agama, agar lulusan beriman kuat dan iman inilah akan tertanam akhlak mulia; pendidikan keimanan Islam akan memberikan kemampuan kepada lulusan untuk mampu hidup di zaman global yang penuh tantangan dan kompetisi yang ketat.
- Pendidikan bahasa Inggris aktif, agar ia mampu berkomunikasi dan bekerjasama di tingkat dunia pada zaman global ini.
- Pendidikan keilmuan, agar lulusan mampu meneruskan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi.
- Pendidikan ketrampilan kerja.[17]
Penelitian menunjukkan bahwa rahasia sukses seseorang ditentukan oleh kecerdasan (IQ) dan kemampuannya dalam mengendalikan diri (EQ). Kecerdasan tidak dapat ditingkatkan, adapun kemampuan diri dapat ditingkatkan antara lain melalui pendidikan Agama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama Islam sangat penting dipertimbangkan dalam merencanakan model pendidikan dalam menghadapi arus global yang sangat sulit dibendung dalam pertaruhan akhlak anak bangsa. Lebih dari itu, bahwa eksistensi sebuah Negara atau kelompok masyarakat sangat ditentukan oleh akhlak bangsa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Abuddin Nata, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Ahmad Satori, Globalisasi nan Gombal, dalam Suara Hidayatullah edisi 11/XVIII Maret 2006.
Ahmad Syar`i , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005.
Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Arifin HM, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam di era Globalisasi: peluang dan tantangan, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
_______, Praktek Pendidikan Islam: Akselerasi Perkembangan dan Tantangan Perubahan dalam Paradigma Baru Pendidikan, editor: Kusmana dan JM. Muslimin, Jakarta, Dirjen Diktis, 2008.
Bambang Pranowo, Masa Depan Pendidikan Islam, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: suatu analisis Psikologi dan pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Ruh al Tarbiyah wa al-Ta`lim, Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya, tt.
Nurhayati Djamas, Pendidikan Islam sebagai Media dalam Menjalankan Misi Al-Qur`an: Tinjauan Normatif dan Historis, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
[1] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 2.
[2] Ahmad Syar`i, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005), 21.
[3] Azyumardi Azra, Praktek Pendidikan Islam: Akselerasi Perkembangan dan Tantangan Perubahan dalam Paradigma Baru Pendidikan, editor: Kusmana dan JM. Muslimin, (Jakarta, Dirjen Diktis, 2008), 64-65.
[4] (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.
[5] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: suatu analisis Psikologi dan pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), 34.
[6] Arifin HM, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 120.
[7] Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan….. 75.
[8] Ibid, 77.
[9] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al Tarbiyah wa al-Ta`lim, (Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya, tt), 30.
[10] Bambang Pranowo, Masa Depan Pendidikan Islam, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009) 25-26.
[11] Abuddin Nata, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009) 46.
[12] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam di era Globalisasi: peluang dan tantangan, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009) 18-22.
[13] Globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai Negara menjadi satu entitas. Gobalisasi berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan Negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia, organisasi sosial, dan pandangan dunia.
[14] Ahmad Satori, Globalisasi nan Gombal, (dalam Suara Hidayatullah edisi 11/XVIII Maret 2006), 20-21.
[15] Nurhayati Djamas, Pendidikan Islam sebagai Media dalam Menjalankan Misi Al-Qur`an: Tinjauan Normatif dan Historis, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 367
[16] Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 37
[17] Ibid, 42.