Muhammad Mutawali
UIN Mataram, STIS Al-Ittihad Bima
muh.mutawali@uinmataram.ac.id
Pengantar
Bima menerima pengaruh Islam pada abad ke-17 M dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan serta mengubah status kerajaan menjadi kesultanan. Hal tersebut sebagai pertanda bahwa pengaruh Islam telah merasuk ke dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat dan Kerajaan Bima. Sejak saat itu, Bima merupakan salah satu pusat peradaban Islam di bagian timur Nusantara dan telah banyak melahirkan tokoh dan ulama yang terlibat dalam jaringan ulama, sebut saja Syekh Abdul Ghani Al-Bimawi.
Keterlibatan ulama Bima dalam jaringan ulama Nusantara sejak abad ke-18 M tidak dapat terbantahkan, hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai sumber yang mengungkapkan bahwa peran dan kontribusi Syekh Abdul Ghani Al-Bimawi yang telah mencetak ulama-ulama Nusantara yang sangat memengaruhi terbentuknya jaringan ulama di Nusantara dan di Timur Tengah, dan juga adanya beberapa hadis Nabi yang menyebutkan ulama Bima tersebut sebagai salah seorang perawi hadis dalam rangkaian mata rantai sanad hadis.
Syekh Abdul Ghani Al-Bimawi dan beberapa tokoh ulama lain seperti Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang dengan leluasa dapat menimba ilmu di Mekah dan meraih tingkatan tertinggi sebagai mahaguru dan Imam Masjidil Haram, hal tersebut merupakan perkembangan baru setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Perkembangan tersebut memicu lahirnya semangat baru dalam kehidupan keagamaan (religious revivalism) sebagai bagian dari proto-nationalism. Dengan dibukanya Terusan Suez, menyebabkan melonjaknya jumlah jamaah Haji dari Indonesia. Mayoritas jamaah haji Indonesia yang masih muda memanfaatkan kesempatan tinggal di Haramayn beberapa tahun untuk melanjutkan pendidikannya, dan bahkan sebagian berdomisili di Haramayn. Dengan meningkatnya jumlah jama`ah haji dari Nusantara, maka semakin meningkat pula jumlah penuntut ilmu di Haramayn yang mendalami ilmu agama, hal tersebut menjadi sebuah sistem komunikasi efektif antara umat Islam di Nusantara dan Timur Tengah. [1]
Sejarah pertumbuhan jaringan antara para penuntut ilmu dari Nusantara dengan ulama Timur Tengah, khususnya Haramayn, melibatkan proses-proses historis yang sangat kompleks. Jaringan murid-guru yang tercipta di antara kaum muslim-baik dari kalangan penuntut ilmu dan ulama maupun muslim awam umumnya di antara kedua kawasan dunia muslim ini-merupakan buah dari interaksi yang panjang diantara wilayah muslim di Nusantara dan Timur Tengah.[2]
Sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama yang berpusat di Haramayn (Mekah dan Madinah). Posisi penting Haramayn, mendorong para ulama dan penuntut ilmu dari seluruh belahan dunia muslim datang dan bermukim, yang pada akhirnya menciptakan semacam jaringan keilmuan antara guru dan murid.[3]
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2011), 67.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Jakarta: Prenada Media, 2013), 1.
[3] Ibid, xxiv.