Pendahuluan
Pendidikan adalah sebuah proses pembentukan karakter manusia yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses budaya untuk membentuk karakter guna meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Dari wacana inilah, jelas pendidikan merupakan landasan bagi pembentukan karakter (character building) manusia, sekaligus karakter sebuah bangsa. Bagaimana perjalanan sebuah bangsa menuju masa depannya, hal itu akan tergantung dari pendidikan yang diterima oleh anak kandung bangsa bersangkutan. Dalam konteks inilah, pendidikan akan selalu berkembang dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Karena itu, pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan, jika tidak, pendidikan akan berjalan di tempat bahkan berjalan mundur.
Pendidikan Islam harus mendasarkan nilai dan prinsip pengembangannya dari petunjuk wahyu, nilai-nilai kenabian, spirit masa keemasan, serta responsif terhadap isu-isu kontemporer. Dengan peka terhadap isu-isu kontemporer tersebut berarti pendidikan Islam itu lentur menghadapi zaman dan bukan menoleh ke belakang terus. Isu-isu kontemporer yang memerlukan jawaban bagi pendidikan Islam saat ini teramat banyak dan kompleks, namun isu sentral yang sedang aktual saat ini antara lain adalah globalisasi pendidikan Islam.
Turbulensi Arus Globalisasi
Kini, jarak bukan persoalan, apa yang terjadi di Irak hari ini bisa kita saksikan langsung dari kamar masing-masing. Keputusan PBB hari ini bisa kita akses via internet. Bicara dengan orang lain tidak harus tatap muka langsung, melainkan melalui tele-conference, e-mail, chatting, atau paling murah dengan sms, inilah wajah globalisasi. Globe artinya dunia, global berarti mendunia, dan globalisasi berarti proses mendunia. Turbulensi arus global ini amat kuat dan dampaknya pada semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan Islam.[1]
Globalisasi selanjutnya menjadi istilah yang menggambarkan adanya penyatuan antara bangsa-bangsa di dunia dari segi sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan dan sebagainya tanpa menghilangkan eksistensi dan kedaulatan negara masing-masing.[2] Pendidikan Islam mau tidak mau masuk dalam perangkap arus global dan mengalami turbulensi. Apa sebenarnya turbulensi itu? Turbulensi dapat dimaknai sebagai violence, disorderly dan uncontrolled, atau pergolakan, kerusuhan dan kekacauan. Pada awalnya, keadaan turbulensi ini dipakai untuk menjelaskan karakter mesin turbo yang menggerakkan mesin propeller pesawat dengan putarannya, sehingga pesawat tersebut dapat terbang. Akan tetapi turbulensi ini lebih lanjut digunakan pula dalam bidang sosial untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang sedang bergolak, rusuh dan kacau. Mengapa bisa demikian?. Dalam analisisnya, fenomena turbulensi tadi dikaitkan dengan pesatnya arus global akibat modernisasi, industrialisasi, media masa, sarana komunikasi dan telekomunikasi yang canggih, sedemikian rupa sehingga menjadikan dunia ini seakan dilipat dalam bentuk mini. Global berarti mendunia. Jadi turbulensi arus global dimaksudkan sebagai pergolakan yang ditimbulkan akibat modernisasi di segala bidang yang telah mendunia. Pengaruh arus global ini amat luas dan tidak terlewatkan pula, imbasnya mengenai pendidikan Islam.
Bagi pendidikan Islam, turbulensi arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas yakni pertentangan dua sisi moral secara diametral, seperti seorang dosen yang mengajarkan mahasiswa bagaimana menyusun skripsi yang baik, namun dosen yang lain memperjualbelikan skripsi kepada mahasiswanya sendiri, guru mendidik siswa agar berlalu lintas yang baik, namun di jalanan para sopir ugal-ugalan, di sekolah dikampanyekan gerakan anti narkoba tapi penjaja narkoba di masyarakat memberi layanan gratis bagi pemula, guru memberi pesan agar siswa tidak terlibat tawuran, tapi di lingkungan masyarakat sering terjadi bentrok antarwarga kampung, di sekolah diadakan razia pornografi tapi media massa semakin terbuka mengumbar simbol-simbol yang merangsang nafsu syahwat, di sekolah guru kita mengajarkan agar mengerjakan soal ujian dengan jujur dan tidak boleh menyontek, tapi di sisi lain ketika ujian negara berlangsung, pihak sekolah dan para guru dengan susah payahnya mencari cara agar dapat menyelesaikan soal ujian tersebut walaupun dengan cara yang tidak baik, dan begitu pula halnya dengan keinginan guru agar anak tampil kreatif dan egaliter, tapi perilaku orang tua di rumah cenderung otoriter.
Karena globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktek pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra-moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam (das solen) dengan realitas di lapangan (das sein), maka gerakan tajdid dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat lebih dulu, sedemikian hingga ajaran Islam yang hendak ditransformasikan itu dapat landing dan kontekstual.[3]
Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan Islam antara lain menurut Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya.[4] Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih teknis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam.[5] Sedangkan menurut hasil rumusan seminar Pendidikan Islam tahun 1960, memberikan pengertian Pendidikan Islam sebagai: bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[6]
Upaya pendidikan dalam pengertian ini diarahkan pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan perkembangan jasmani dan rohani melalui bimbingan, pengarahan, pengajaran, pelatihan, pengasuhan dan pengawasan yang kesemuanya dalam koridor ajaran Islam.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[7]
Globalisasi Pendidikan Islam
Sekarang bagaimana sikap kita? arus global bukanlah lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator dari mesin yang namanya pendidikan Islam. Bila Pendidikan Islam mengambil posisi anti global , maka mesin tersebut tidak dapat stationare atau macet, lalu pendidikan Islam pun akan menagalami intellectual shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas oleh mesin tadi. Karenanya pendidikan Islam menarik-ulur arus global, yang sesuai ditarik atau diambil dan dicerna, sementara yang tidak sesuai diulur dilepas atau ditinggalkan.
Hadirnya media massa elektronika melalui dunia tanpa kabel, wireless dan dunia maya, cybernet, telah mengubah gaya mengajar guru. Gaya hidup modern ditandai dengan serba canggihnya teknologi, dari teknologi komunikasi hingga transportasi. Kini, untuk mengadakan konferensi internasional, pihak penyelenggara tidak lagi mesti menghadirkan para peserta untuk datang ke suatu negara tertentu, melainkan cukup dengan teleconference , dimana masing-masing peserta tetap di tempat asalnya, sementara komunikasinya tersambung lewat layar monitor yag saling disaksikan oleh para pesertanya.[8]
Dalam kegamangan meniti kehidupan di era global yang amat kompleks, pendidikan Islam masih merupakan alat yang dapat mencerahkan peradaban. Pendidikan keagamaan Islam yang terstruktur dan tersistematisasi secara utuh, yang diharapkan dapat memberi peta yang utuh, lengkap dan komprehensif tentang keislaman sangat diperlukan oleh warga masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi umum, para penyelenggara negara, para tokoh dan pemimpin gerakan sosial kegamaan. Kebutuhan mendesak itu muncul mengingat terjadinya kesimpangsiuran lalu lintas informasi tentang Islam dan klaim-klaim keislaman secara sepihak-subjektif, yang semakin hari semakin membingungkan masyarakat dan tak terkontrol oleh siapapun dan oleh lembaga apapun. Kecanggihan telekomunikasi, teknologi informasi yang menggunakan media elektronik lewat jaringan website, internet, multimedia dan media online lainnya seringkali tak terstruktur secara sistematis baik segi materi maupun metodologi, hal ini menambah kesulitan masyarakat untuk memperoleh informasi yang memadai dan akurat tentang Islam.
Di tengah ketidak berdayaan dalam menghadapi realitas baru pasca revolusi industri dan hempasan gelombang revolusi informasi dalam borderless society, diperlukan konsep-konsep baru yang dapat mencerahkan, yang dapat mengolah dan meramu kembali silabus, kurikulum, metode, pendekatan, filosofi pendidikan agama Islam yang dapat mengantarkan peserta didik dan masyarakat luas untuk tetap dapat berfikir jernih, santun, etis, penuh pertimbangan yang rasional-logis dan dapat mengantarkan mereka untuk bertindak act locally and think globally, tanpa harus mengorbankan salah satunya.[9]
Yang dipikirkan sekarang adalah bagaimana respon umat dan pendidikan Islam menghadapi globalisasi tersebut. Arus global harus disikapi dengan arif dan bijaksana, ibarat sistem pencernaan, zat yang bergizi diedarkan ke seluruh tubuh sementara sisanya yang kotor dibuang. Pendidikan Islam mestilah menjadi sistem pencernaan tadi, sebab kalau tidak bergizi (dalam arti anti global) ia akan ketinggalan, sementara kalau tidak dicerna, dapat merusak identitas dirinya. Jadi, globalisasi bisa menjelma menjadi peluang (opportunity), bisa pula tantangan (threat). Posisi pendidikan Islam yang perlu dipertahankan adalah sikapnya yang tetap selektif, kritis dan terbuka terhadap munculnya turbulensi arus global, bukan dengan sikap eksklusif, atau terseret arus global sehingga mengikis identitas pendidikan Islam itu sendiri. Menutup diri atau membuka kran bagi hadirnya arus global, keduanya mengandung konsekuensi. Pendidikan Islam hendaknya dapat kembali kepada sumber lokalnya yang autentik, yakni Al-Qur`an dan Al-Hadis, sambil memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas dan temuan sains dan teknologi, sedemikian sehingga pembaharuan pendidikan Islam tidak mulai dari nol lagi.[10]
Al-Qur`an dan Al-Hadis sebagai sumber utama ajaran dan hukum Islam mempunyai peran yang penting dalam membendung derasnya arus kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kemajuan tersebut dapat dijadikan sebagai tantangan dan peluang yang harus dihadapi bukan malah dihindari dan ditinggalkan. Pelaku dalam dunia pendidikan Islam sejatinya harus dapat memanfaatkan kemajuan teknologi demi kemajuan pendidikan Islam.
Urgensi Pendidikan Islam di Tengah Turbulensi Arus Global
Mengapa pendidikan begitu penting bagi upaya memajukan umat? beberapa asumsi dapat diajukan di sini: pertama, Pendidikan merupakan proses internalisasi nilai. Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya penanaman nilai-nilai dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan tertentu, maka nilai-nilai yang termuat dalam al-Qur`an dan Hadis merupakan ciri khas bagi pendidikan Islam. Kedua, Pendidikan merupakan investasi human resources.
Mengingat bahwa proses pendidikan dilakukan oleh, dari dan untuk manusia, maka hasilnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia agar menjadi manusia yang sadar akan fungsi hidupnya di dunia sebagai hamba Allah dan khalifah Allah fi al-Ardh. Ketiga, Pendidikan sebagai sarana memajukan peradaban, untuk memajukan peradaban Islam diperlukan pendidikan yang maju pula.[11]
Dari asumsi di atas, maka pendidikan Islam sangat diperlukan di tengah turbulensi arus global, hal ini didasarkan pada beberapa catatan argumentatif sebagai berikut:
- Secara sosiologis, agama besar pada masa awal kelahirannya selalu tampil sebagai gerakan kritik terhadap berbagai bentuk pelecehan hak-hak asasi manusia yang terjadi dalam masyarakat.
- Secara akademik, Islam merupakan ajaran yang paling dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Al-Qur`an dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya merupakan dokumen ilahiyah yang isinya secara akademik merupakan firman Allah, hal ini dapat dibuktikan dengan kesesuaian isyarat-isyarat al-Qur`an dan Hadis dengan temuan para sejarawan dan arkeolog, kesesuaian isyarat-isyarat al-Qur`an dan Hadis dengan isyarat-isyarat ilmiah, serta masa turunya Al-Qur`an dan datangnya Hadis juga dapat dibuktikan dengan para saksi atau informan yang dapat dipercaya.
- Secara psikologis, Islam adalah ajaran yang paling sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia. Kebutuhan manusia dalam bidang pemeliharaan jiwa (hifdz al-Nafs), pemeliharaan akal (hifdz al-Aql), pemeliharaan agama (hifdz al-Din), pemeliharaan keturunan (hifdz al-Nasl), pemeliharaan harta (hifdz al-Mal), mendapatkan perhatian yang sugguh-sungguh dalam ajaran Islam.
- Secara sosiologis, agama datang untuk mengatur dan menertibkan kehidupan manusia secara aman, damai, sentosa, harmonis, dan berkelanjutan, yang selanjutnya dapat membangun kebudayaan dan peradaban yang humanis, egaliter, adil dan demokratis.
- Dilihat dari segi sifat dan kontennya, agama Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman (shalih li kulli zaman wa makaan). Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Selain itu Islam bukan hanya mengatur urusan tubuh dan fisik, melainkan juga urusan moral, spiritual dan intelektul.[12]
Oleh Karena itu, di tengah terjadinya turbulensi (kekacauan) global, pendidikan Agama Islam dapat dijadikan sebagai media untuk mengatur dan mengendalikan kekacauan dan ketidakharmonisan yang terjadi akibat arus global sehingga manusia dapat hidup damai dan sejahtera dan tercapainya kemajuan peradaban dan pendidikan Islam.
Penutup
Dari uraian dan analisis tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan; pertama, era globalisasi adalah sebuah era dimana terjadinya hubungan dan komunikasi yang berskala dunia dengan menggunakan teknologi canggih yang menyebabkan manusia terbuka wawasannya, makin kritis, makin percaya diri dan dapat menyelesaikan tugas dengan cepat; kedua, Pendidikan Islam seharusnya dapat memanfaatkan dengan cerdas kemajuan dan kecanggihan teknologi di era globalisasi, bukan malah sebaliknya dilindas dan terseret oleh derasnya kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta hancur dengan adanya turbulensi arus global; ketiga, pendidikan Islam semestinya dapat mengubah berbagai tantangan di era globalisasi ini menjadi peluang, sehingga pendidikan Islam akan tetap dibutuhkan di era globalisasi.
[1] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2011), 327.
[2] Abudin Nata, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 48.
[3] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat………, 327-328.
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Tradisi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 5.
[5] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta: Usaha Enterprise, 1976), 85.
[6] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 15.
[7] Abdul Mujib dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), 27-28.
[8] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat………….., 328-330.
[9] M. Amin Abdullah, Memperdalam Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamy dan Dirasat Islamiyah, dalam Mereka Bicara…………………, 264-265.
[10] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat……………., 330-331.
[11] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat……………….., xvi.
[12] Abudin Nata, Urgensi………………, 51-53.