RESENSI BUKU

ISLAM DI BIMA:

IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM OLEH BADAN HUKUM SYARA` KESULTANAN BIMA (1947-1960)

 Penulis: Muhammad Mutawali,
Editor: Rahmah Murtadha
Penerbit: Ruas Media Yogyakarta
ISBN: 978-623-92186-0-7
Tahun 2019

 

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1947, Sultan Bima mengeluarkan Surat Keputusan No.  42 tanggal 4 Mei 1947 tentang pembentukan Badan Hukum Syara’ yang diikuti dengan aturan organik dalam Instruksi Sultan Bima tanggal 4 Mei 1947, maka secara otomatis pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Bima telah berlaku lagi setelah pemerintahan Belanda menghapus kekuasaan Mahkamah Syar’iyyah.  Badan Hukum Syara’ menitikberatkan aktifitasnya pada pelaksanaan hukum Islam dalam bidang perkawinan, perceraian, perwakafan, hibah, kewarisan, pendidikan dan kegiatan keagamaan lainnya. Pembetukan Badan Hukum Syara’ merupakan wujud dari aspirasi masyarakat yamg menginginkan berlakunya hukum Islam di Kesultanan Bima secara menyeluruh, dan Badan Hukum Syara’ adalah merupakan wajah Islam di Bima.

Pelaksanaan hukum Islam dalam Badan Hukum Syara’ berlaku efektif, hal ini terbukti dalam kasus-kasus, seperti kasus dalam pelanggaran taklik talak yang terjadi antara Im dan suaminya Smdn yang diputus talak satu oleh Badan Hukum Syara’ dikarenakan Smdn sebagai suami telah melanggar ikrar taklik talak yaitu meninggalkan isteri selama 7 (tujuh) bulan tanpa nafkah lahir dan batin, kemudian dalam kasus fasakh yang terjadi antara Ftmh sebagai Isteri dan M.  Tyb sebagai suami, di mana suami telah melanggar ikrar taklik talak yaitu meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun tanpa nafkah lahir  batin dan isteri menggugat yang dalam petitumnya meminta agar majelis hakim mengabulkan permintaannya, demikian juga dalam kasus kewarisan dan perikatan (mu’amalah), terlihat hukum Islam merupakan dasar dan sumber hukum dari penyelesaian kasus-kasus tersebut dan kitab-kitab fiqh merupakan rujukan dan sumber pengambilan hukum bagi Badan Hukum Syara’ dalam pengambilan keputusan hukumnya.

Jika teori Receptie yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje dimaksudkan untuk menyatakan bahwa hukum Islam tidak berlaku dalam masyarakat, dalam arti bahwa masyarakat tidak mengakui hukum Islam sebagai hukum mereka dan yang mereka akui sebagai sumber hukum adalah adat mereka, maka teori ini tidak terbukti sama sekali dalam wilayah hukum Kesultanan Bima.  Kasus-kasus yang dibawa ke Badan Hukum Syara’, sebagaimana yang telah dikemukakan, membantah isi teori tersebut.  Memperhatikan sejarah lahir dan maksud teori Receptie serta dihubungkan dengan data pendukung dari fakta-fakta yang dikemukakan dapat dikatakan bahwa teori tersebut bukanlah teori dalam arti yang sebenarnya, teori tersebut tidak lain dari kebijakan kolonial Belanda belaka. Teori yang sebenarnya adalah jika teori tersebut didukung oleh data dan fakta empirik yang terjadi dalam masyarakat.

Bentuk perpaduan antara adat dengan Islam di Kesultanan Bima, yaitu kecenderungan mengambil alih ketentuan-ketentuan hukum Islam dan menyebutnya sebagai adat, dan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum. Hal ini memperlihatkan bagaimana kuatnya pengaruh Islam terhadap adat.  Mengingat kuatnya pengaruh Islam dalam adat Mbojo, maka dapat dipahami mengapa Dou Mbojo sangat kuat memegang adatnya yang tercermin dalam ungkapan, Nawa Labo Sarumbu yang berarti bahwa nyawa dan tubuh secara bulat, dan juga dalam ungkapan yang berbunyi: Mori ro madena dou Mbojo ake kai hukum Islam edeku, yang berarti bahwa hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam, dan Bune Santika Adat Ederu Na Kapahuku Rona Kandandina Rawi, Hukum Ma Katantu Ro Maturuna, yang berarti bahwa Syara’ itu yang mewujudkan dalam kenyataan hidup sedangkan hukum yang menetapkan dan menunjukkan jalan.  Adat bukan hanya sekedar ketentuan hidup yang sudah dibiasakan, tetapi menyangkut hubungan dengan agama Islam yang dijadikan sebagai dasar falsafah adat.