Abstrak
Islam adalah sistem yang paripurna dan menyeluruh bagi seluruh kehidupan manusia dan diharuskan untuk memberlakukan sistem tersebut dalam suatu Negara. Islam juga telah membawa aturan yang komprehensif, yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalam negara dan masyarakat, baik dalam masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik.
Di Indonesia saat ini, diskursus tentang pemisahan antara Islam dan negara, atau pemisahan antara Islam dan panggung politik semakin menguat di kala semakin tingginya intensitas politik dan politik identitas yang menyebabkan terjadinya gesekan dalam tubuh umat Islam, maka terjadilah perpecahan.
Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kedudukan dan hubungan antara Islam dan negara? Pertanyaan ini menjadi isu hangat yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas dan bahkan belakangan ini makin hangat didiskusikan tatkala antusisme melanda hampir seluruh dunia Islam.
Kata Kunci: Islam, Negara, Kedudukan, Hubungan.
PENDAHULUAN
Allah SWT. sebagai sang khaliq telah menurukan risalah Islam yang berdiri di atas landasan tauhid dan bersifat universal yang mengatur seluruh manusia dan kehidupannya. Islam telah memecahkan masalah interaksi antara manusia beserta kehidupannya dengan Allah yang disertai dengan keharusan untuk beribadah semata-mata kepada-Nya dengan mengikuti semua aturan yang disyari’atkan bagi seluruh hambanya agar beribadah kepada-Nya dengan aturan tersebut.
Islam juga telah membawa aturan paripurna, yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalam Negara dan masyarakat, baik dalam masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, baik yang menyangkut interaksi yang bersifat umum, antara negara dengan anggota masyarakatnya, atau antar negara dengan negara, maupun negara dengan umat serta bangsa-bangsa lain, atau yang menyangkut interaksi secara khusus antara anggota masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian Islam adalah sistem yang paripurna dan menyeluruh bagi seluruh kehidupan manusia dan diharuskan untuk memberlakukan sistem tersebut dalam suatu negara.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas tentang konsep negara dalam Islam dan bagaimana kedudukan dan hubungan antara agama dan Negara? Pertanyaan ini berangkali menarik dikemukakan karena merupakan salah satu isu hangat yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas dan bahkan belakangan ini makin hangat didiskusikan tatkala antusisme melanda hampir seluruh dunia Islam, terutama di Indonesia dengan mencuatnya kembali diskursus relasi agama dan negara.
PEMBAHASAN
KONSEP NEGARA DALAM ISLAM
Al-Qur’an telah mengungkapkan bahwa Allah SWT. menyimpan agama pada lubuk jiwa manusia, hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya: hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu, (QS. 30:30). Ayat tersebut dikemukakan bukan untuk pembuktian atau argumentasi, melainkan untuk menegaskan bahwa Islam adalah yang pertama kali menemukan dan menandaskan bahwa agama merupakan kebutuhan fitrah manusia.[1]
Agama adalah satu-satunya cara atau sarana untuk memenuhi semua kebutuhan dan dambaan manusia, tak sesuatupun dapat menggantikan posisinya. Sejak beberapa waktu lalu, sebagian orang percaya bahwa dengan kemajuan dan modernisasi yang dicapai oleh manusia, kebutuhan akan agama segera hilang, karena ilmu pengetahuan akan dapat memenuhi semua kebutuhan dan dambaan manusia. Namun kini, setelah kemajuan besar dicapai oleh ilmu pengetahuan, manusia tetap merasakan adanya kebutuhan mendesak akan agama berkenaan dengan kebahagiaan individu maupun masyarakat.[2]
Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief mengatakan bahwa agama, sebagaimana yang dinyatakan banyak kalangan, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiyah untuk memahami dunia.[3] Kemudian Fazlurrahman dalam bukunya ISLAM, sebagaimana yang dikutip oleh Bahtiar Effendi mengatakan bahwa agama Islam, dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang hadir di mana-mana. Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa di mana-mana kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.[4]
Jika kita kembali melihat ke belakang akan sejarah Nabi Muhammad ketika membawa agama baru yang dapat mengubah Mekkah pada waktu itu menjadi sebuah peradaban baru, yang mana pada waktu itu tugas Nabi Muhammad adalah menyampaikan risalah Islam untuk membentuk pribadi yang muslim, akan tetapi ketika Nabi hijrah ke Madinah, bentuk misi yang dibawa beralih untuk pembentukan dan pembinaan masyarakat. Di Madinah Nabi berhasil membentuk kesatuan umat yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin.
Kerasulan Muhammad SAW. menjadi semakin siap dan diterima oleh ummat sehingga Islam semakin tersiar. Kedudukannya bukan hanya sebagai pemimpin umat tetapi juga sebagai pemegang kekuasaan politis. Apa yang dipimpin oleh Nabi Muhammad pada waktu itu sudah pantas disebut sebagai sebuah Negara.[5]
Di Negara yang baru ini Nabi Muhammad baru bisa secara efektif menerapkan dimensi sosial ajaran Islam untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya dan dari masyarakat ini pula ia menciptakan suatu kekuatan sosial-politik dalam sebuah negara Madinah. Hal yang pertama dilakukannya di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah Negara adalah membuat piagam Madinah pada tahun pertama Hijriah. Piagam yang berisi 47 pasal ini membuat peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk. Di Negara baru ini Nabi Muhammad bertindak sebagai kepala Negara dan piagam Madinah sebagai konstitusinya.[6]
Negara Madinah dapat dikatakan sebagai negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah memenuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu Negara, yaitu: wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar. Mac Iver dalam bukunya The Modern State mengatakan bahwa suatu Negara harus memenuhi beberapa unsur yang menjadi kriteria sebuah Negara, kriteria tersebut adalah pemerintahan, komunikasi atau rakyat dan wilayah tertentu.[7] Lebih lanjut Ahmad Sukardja menjelaskan bahwa berdasarkan berbagai definisi tentang Negara dan unsur pokok berdirinya suatu Negara, maka Madinah adalah merupakan suatu Negara.[8]
Menurut Munawir Sadzali, piagam Madinah sebagai konstitusi negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang majemuk di Madinah. Landasan tersebut adalah: pertama, semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan: kedua, hubungan intern komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dan non-muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[9]
Dengan adanya piagam Madinah ini menandakan dan menunjukan bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang negarawan yang tidak hanya mementingkan Islam semata, tetapi mampu mengakomodasi keperntingan umat lainnya dan mampu memersatukan suku-suku di kalangan kaum Anshar. Sebagai pemimpin agama yang sekaligus sebagai pemimpin negara Madinah yang saling terkait erat, yang mana hal ini diperkuat dengan pendapat beberapa kalangan yang malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai masyarakat madani,[10] peradaban yang lengkap, [11] atau bahkan agama dan Negara.[12]
Al-Qur`an dan sunah merupakan pedoman bagi umat Islam dalam mengembangkan hubungan sosial dan politik, serta mengembangkan norma-norma dan institusi hukumnya.[13] Dalam al-Qur`an dan hadis Nabi Muhammad SAW. tidak ditemukan secara eksplisit istilah atau konsep negara. Sebab konsep negara atau nation-state seperti yang dikembangkan saat ini baru muncul pada abad ke-16 yang dikemukakan oleh Nicolo Machivelli (1469-1527). Akan tetapi bukan berarti bahwa konsep negara tidak ada sama sekali dalam Islam. Secara substantif, terdapat sejumlah ayat dan hadis yang menunjukkan adanya sistem pemerintahan pada umat Islam, walaupun tidak ada dalil yang menunjukkan keharusan mendirikan sebuah negara.[14]
Salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik Islam yaitu mengenai pencarian konsep tentang Negara. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pencarian tentang konsep Negara oleh ulama politik mengandung dua maksud: pertama, untuk menemukan identitas Islam tentang Negara. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang Negara; kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan Negara. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.[15] Memang, negara dibutuhkan dalam Islam untuk merealisasikan wahyu-wahyu Allah, maka Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri.[16]
RELASI AGAMA DAN NEGARA
Hubungan agama dan negara dalam Islam telah diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad sendiri setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dari nama yang dipilih Nabi bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Allah, yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi yang kemudian menghasilkan suatu entitas politik, yaitu sebuah negara Madinah. Negara Madinah pimpinan Nabi adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam.[17]
Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekolompok manusia untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Negara memerlukan pemberlakuan hukum (law inforcement). Oleh karena itu, doktrin dasar negara adalah negara berdasarkan hukum dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi.[18]
Permasalahan mengenai hubungan antara agama dan negara telah menjadi perdebatan yang berkepanjangan. Akar permasalahan ini antara lain klaim yang diperjuangkan oleh agama dan negara terhadap kehidupan dan tingkah laku manusia yang saling tumpang tindih, baik agama maupun negara, meskipun berasal dari sumber yang beragama, namun sama-sama berupaya mengantur hidup dan perbuatan manusia. Agama menurunkan panduan tentang bagaimana seseorang harus bertindak dengan sanksi dosa/pahala, syurga/neraka, ditambah hukum dunia. Sedangkan negara menuntut agar manusia semua warganya patuh dan taat pada peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh negara.[19]
Dalam pemikiran politik Islam, terdapat tiga paradigma tentang hubungan antara agama dan negara. Nuansa di antara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut.
Paradigma pertama, negara hanya mengakui satu agama tertentu, dan lazimnya bersikap diskriminatif terhadap agama lainnya.[20] Paradigma ini juga memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara, agama dan negara dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintah Negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (devine soveregnty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tengah tuhan.[21] Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran politik syi’ah memandang bahwa Negara adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis.[22]
Paradigma ini juga dianut oleh kelompok fundamental, yang cenderung berorientasi nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil yang menekankan totalitas Islam. Menurut al-Maududi, yang merupakan salah seorang tokoh dalam kelompok ini, mengatakan bahwa Syari’ah tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara.[23]
Paradigma ini juga terjadi pada negara Chili sebelum tahun 1923, Chili adalah penganut paham kesatuan agama dan negara (the unity betwen church and state), dengan Katholik sebagai agama negara. Ternyata keterlibatan Gereja Katholik dalam menentukan kebijakan negara justru menghambat program pemerintah. Karena itu, pada tahun 1923, Presiden Arturo Alessandri mengajukan usul pemisahan agama dari negara karena melihat adanya kebaikan dalam sistem tersebut, dan gagasan tersebut dapat direalisasikan pada tahun 1925.[24]
Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama dan negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.[25] Paradigma ini juga meniscayakan adanya lembaga negara bagi umat Islam tapi dengan corak yang demokratis melalui pendirian lembaga-lembaga demokrasi parlemen dan dengan modus suksesi kepemimpinan yang memberi kesempatan pada partai politik rakyat. Dalam kenyataan empiris, penisbatan Islam dengan negara dapat bersifat formal maupun substansial, yaitu dengan memberi tempat bagi agama dalam konstitusi dan kehidupan bernegara.[26]
Paradigma ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Maududi, yang mengatakan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna melihat agama dan mengatur dunia.[27] Dengan demikian terlihat adanya hubungan timbal balik antara agama/Islam dan negara. Agama dalam Islam menjadi sesuatu yang esensial bagi negara dan negara esensial bagi agama.[28]
Paradigma ketiga, bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara.[29] Karena agama dipandang sebagai penghalang kemajuan sebuah negara. Paradigma ini umumnya dianut oleh negara-negara komunis, seperti Uni Sovyet (dulu) dan negara China. Sikap seperti ini mengandung banyak konsekunsi yang dapat melahirkan konflik. Negara komunis melihat agama dari sudut yang negatif dan agama dianggap sebagai the opium of the people.[30]
Salah seorang pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd. Al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Pada tahun 1925, ia menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menimbulkan kontroversi dan menyebabkan ia dipecat dari jabatannya sebagai hakim agama oleh semacam Majelis Ulama Mesir. Isu sentral dari risalahnya adalah bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan. Argumentasi utamanya adalah bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, kedua sumber ini tidak menyebut istilah khalifah dalam pengertian kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah. Ia menolak dengan keras pendapat bahwa Nabi Muhammad pernah mendirikan suatu negara Islam di Madinah. Lanjutnya lagi bahwa Nabi Muhammad adalah semata-mata utusan Tuhan, bukan seorang kepala negara.[31]
Dalam kaitan di atas, ia bermaksud membedakan antara agama dan politik, tepatnya antara misi kenabian dan aktivitas politik. Baginya, Islam adalah suatu entitas keagamaan yang bertujuan untuk mewujudkan komunitas keagamaan yang tunggal, berdasarkan kesamaan keyakinan. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam, menurut pandanganya, memandang penting kekuasaan politik. Tapi hal ini tidak berarti bahwa pembentukan negara atau pemerintahan itu merupakan salah satu ajaran dasar Islam.[32]
Contoh praktis yang paling menonjol adalah negara sekuler yang didirikan oleh Kemal Attaturk di Turki.[33] Meskipun Turki memutuskan untuk mengikuti jalan sekularisasi sepenuhnya, sebagian besar negara muslim tetap mengakui Syari’at sebagai sumber hukum mereka, setidak-tidaknya dalam hukum kekeluargaan.[34]
RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM KONTEKS NKRI
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan berasaskan pada Pancasila sebagai landasan Idiil negara dan UUD 1945 sebagai dasar struktural negara. Sila pertama pancasila berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang diperkuat lagi oleh pasal 29 UUD 45 tentang agama, yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Ketentuan-ketentuan UUD 45 tersebut bertentangan dengan sekularisme dan tidak menganut sekularisme.[35]
Agama merupakan pedoman hidup (way of life) yang diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia, agar kehidupan mereka di dunia menjadi sejahtera dan di akhirat mendapat keselamatan. Indonesia adalah negeri yang mayoritas beragama Islam. sekalipun demikian, Indonesia bukanlah negara teokrasi yang menjadikan ajaran Islam sebagai konstitusinya, sebab terdapat pula pemeluk agama lain yang juga menjadi pemilik sah negeri ini. Bersama kaum muslim mereka berjuang dalam membangun bangsa dan negara, dan andil mereka yang besar tidak mungkin dapat dipungkiri.[36] Oleh karena itu, secara religi politik dan ideologis, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam, melainkan sebuah negara yang di dasarkan atas ideologi pancasila.[37]
Walaupun Negara Indonesia bukan negara agama (dalam pengertian teokratis) tapi bukan pula negara sekuler (dalam pengertian adanya pemisahan antara agama dan negara), namun dapat dipertanggung jawabkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokratis yang bersifat keagamaan. Dalam negara Indonesia, agama mempunyai tempat yang terhormat.[38]
Negara Indonesia secara konstitusional mengikuti sistem demokrasi dan pada era reformasi ini sistem demokrasi telah dipraktekkan secara lebih substantif daripada masa-masa sebelumnya. Meski masih menghadapi berbagai persoalan dan tantangan yang berat, hal tersebut telah melampaui praktek demokrasi di negara-negara muslim lainnya. Indonesia juga mengakui keberadaan agama dalam negara, juga melakukan penyesuaian sistem sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia.[39]
Jika kita mengklasifikasikan negara Indonesia dalam tiga paradigma di atas, menurut penulis, Indonesia masuk ke dalam paradigma yang kedua, dimana paradigma yang kedua ini memandang agama dan negara saling berhubungan secara simbiotik yang saling berhubungan timbal balik, saling membutuhkan dan negara sangat menghormati agama dengan bukti membentuk Kementerian Agama yang secara jelas adanya urusan-urusan agama yang diatur secara struktural oleh negara, dari argumen ini dapat dipahami bahwa Indonesia tidak memisahkan antara agama dan negara dan urusan-urusan agama menjadi bagian resmi dari urusan Negara, walaupun ada suara-suara sumbang yang mewacanakan agar Indonesia memisahkan antara agama dan negara, dalam hal ini adalah pemisahan antara agama dan politik.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, bahwa kedudukan agama dengan negara memiliki hubungan erat dalam ajaran Islam. Sebagaimana terlihat pada sejarah Nabi Muhammad, ketika membawa agama baru yang dapat mengubah Mekkah pada waktu itu menjadi sebuah peradaban baru, yang mana pada waktu itu tugas Nabi Muhammad adalah menyampaikan risalah Islam untuk membentuk pribadi yang muslim, akan tetapi ketika Nabi hijrah ke Madinah, bentuk misi yang dibawa beralih untuk pembentukan dan pembinaan masyarakat.
Di Madinah Nabi berhasil membentuk kesatuan umat yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin dalam sebuah negara Madinah. Hubungan antara agama dengan negara ini mengacu pada pemetaan sebuah peraturan tentang kehidupan dan tingkah laku manusia yang saling tumpang tindih, baik agama maupun negara, meskipun berasal dari sumber yang beragam, namun sama-sama berupaya mengatur hidup dan perbuatan manusia. Agama menurunkan panduan tentang bagaimana seseorang harus bertindak dengan sanksi dosa/pahala, syurga/neraka, ditambah hukum dunia. Sedangkan negara menuntut agar semua warganya patuh dan taat pada peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh negara.
Terdapat tiga paradigma terkait dengan relasi agama dan negara, yaitu:
Paradigma pertama sebagaimana yang dipraktekkan oleh negara yang menganut teokrasi, negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan dan konstitusi Negara berdasarkan wahyu Tuhan (syari’ah). Sifat teokratis negara dalam pandangan syi’ah dapat ditemukan dalam pemikian ulama politik syi’ah seperti Khomeini yang mengatakan bahwa dalam Negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada tangan tuhan. Demikian pula sebagaimana yang dipraktekkan oleh negara Chili sebelum tahun 1923.
Paradigma kedua sebagaimana yang dicontohkan oleh negara Indonesia. Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara teokratis. Akan tetapi Indonesia adalah negara yang mengakomodir semua agama, menempatkan agama pada posisi terhormat dan negara membutuhkan agama, sehingga terjadi hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Paradigma ketiga adalah negara sekular yang menolak semua agama, karena agama dianggap sebagai penghambat kemajuan negara dan pemerintahan, sebagaimana dipraktekkan oleh negara-negara komunis seperti Uni Sovyet dan China.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: Kompas Gramedia, 2011.
An-Na`im, Abdullahi Ahmed, Islam dan Negara Sekuler, menegosiasikan Masa Depan Syari`ah, Terj. Sri Murniati, Jakarta: Mizan, 2007.
- Fadhil, Nur, Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqh dan Tata Hukum Indonesia, Medan: Pustaka Widya Sarana, 1995, cet.1.
Al-Maududi, Abul A’la al-Maududi, Political Teory of Islam dalam khursid Ahmad (Ed), Islamc Law dan Contitution, Lahore, 1967.
al-Mawardi, Abu al-Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: t.t.
Audah, Abdul Qadir, al-Mal Wa al-Hukum Fi al-Islam, Cairo: al-Mukhtar al-Islam, 1997, cet. Ke-5.
Azra, Azyumardi, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modern (Tijauan Sosio-historis) dalam Abu Zahra (Ed) Politik Demi Tuhan.
Baqi, Thaha Abd. Surur, Dawlah al-Qur’an, Cairo: Dar al-Nahdhah Mishriah, 1972.
Bellah. Robert N., Beyond Belief: Essays on Religion in A Posttradisionalist World, Berkeley and Los Angeles: University of Californian Press, 1991.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998.
Gibb, H.A.R. (Ed) , Write Islam?: A Survey of Modern Movement in The Muslim World, London: Victor Gollancs Ltd, 1932.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religion Thought ini Islam, Lahore: M. Ashraf, 1962.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. Ke-1.
Iver, R. M. Mac, The Modern State, London: Oxford University Press, 1947.
Madjid, Nurcholis, Agama dan Negara dalam Islam, Kata Pengantar dalam Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. Ke-1.
———-, Pluralisme Agama di Indonesia, Kata Pengantar dalam Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara : Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: Murai Kencana, 2004.
Muthahari, Murtadha, Persepktif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan, 1994, cet. Ke-VII.
Muhammad, Afif, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia, Bandung: Marja, 2013.
Qardhawy, Yusuf, Fiqh Negara, (terj.), Jakarta: Robbani Press, 1997, cet. Ke-1.
Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945, Jakarta: UI Press, 1995.
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2002, cet. Ke-I.
Syamsuddin, Din, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, Dalam Politik Demi Tuhan, Abu Zahra (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, cet. Ke-1.
____________, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2000, cet. Ke-1.
[1] Murtadha Muthahari, Persepktif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke-VII, 45
[2] Ibid, 52-53
[3] Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in A Posttradisionalist World, (Berkeley and Los Angeles: University of Californian Press, 1991), 146
[4] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998), 7
[5] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. Ke-I, 146
[6] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. Ke-1, 33
[7] R. M. Mac Iver, The Modern State, (London: Oxford University Press, 1947), 22
[8] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta: UI Press, 1995), 88. Pada umumnya para penulis berpendapat Negara yang yang terbentuk pada masa Nabi Muhammad adalah Negara Teokrasi dalam arti Negara yang didalamnya kedaulatan ada pada Tuhan.
[9] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), 15-16
[10] Muhmmad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought ini Islam, (Lahore: M. Ashraf, 1962), dikutip dari Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, 61
[11] H.A.R. Gibb (Ed), Write Islam?: A Survey of Modern Movement in The Muslim World, (London: Victor Gollancs Ltd, 1932), 12
[12] Thaha Abd. Baqi Surur, Dawlah al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Nahdhah Mishriah, 1972), 80
[13] Abdullahi Ahmed An-Na`im, Islam dan Negara Sekuler, menegosiasikan Masa Depa Syari`ah, Terj. Sri Murniati, (Jakarta: Mizan, 2007), 26.
[14] Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011), 3
[15] Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, Dalam Politik Demi Tuhan, Abu Zahra (Ed), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. Ke-1, 43-44
[16] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, 131
[17] Nurcholis Madjid, Agama dan Negara Dalam Islam, Dalam Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, vii.
[18] Din Syamsuddin, Usaha Pencarian…., 45. Lihat juga dalam bukunya yang berjudul Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), cet. Ke-1, 57-58
[19] Nur A. Fadhil, Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqh dan Tata Hukum Indonesia, (Medan: Pustaka Widya Sarana, 1995), cet. Ke-1, 6
[20] Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia, (Bandung: Marja, 2013), 19.
[21] Din Syamsuddin, Usaha Pencarian, 45-46
[22] Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan dan konstitusi Negara berdasarkan wahyu Tuhan (syari’ah). Sifat teokratis Negara dalam pandangan syi’ah dapat ditemukan dalam pemikian ulama politik syi’ah seperti Khomeini yang mengatakan bahwa dalam Negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada tangan tuhan. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, 58-59
[23] Al-Maududi sendiri menolak istilah Teokratis dan lebih memilih istilah Teo-demokratis. Abul A’la al-Maududi, Political Teory of Islam dalam khursid Ahmad (Ed), Islamc Law dan Contitution, (Lahore: 1967), 243.
[24] Afif Muhammad, Agama dan Konflik, 20.
[25] Din Syamsuddin, Upaya Pencarian, 60
[26] Ibid, 42
[27] Pemeliharaan Negara dan pengaturan Negara merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dimensi dari misi kenabian. Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Beirut: t.t), 5
[28] Abdul Qadir Audah, al-Mal Wa al-Hukum Fi al-Islam, (Cairo: al-Mukhtar al-Islam, 1997), cet. Ke-5, 13
[29] Din Syamsuddin, Upaya Pencarian, 62
[30] Afif Muhammad, Agama dan Konflik, 22.
[31] Ibid, 63-64
[32] Ibid, 5.
[33] Yusuf Qardhawy, fiqh Negara, (terj.), (Jakarta: Robbani Press, 1997), cet. Ke-1, 5. Kekuasaan hukum syari’at dihapuskan sepenuhnya dan diganti dengan hukum Swiss.
[34] Azyumardi Azra, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modern (Tijauan Sosio-historis) dalam Abu Zahra (Ed) Politik Demi Tuhan, 64
[35] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah, 94-95
[36] Afif Muhammad, Agama dan Konflik, 11.
[37] Nurcholish Madjid, Pluralisme Agama di Indonesia, Kata Pengantar dalam Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, (Jakarta: Murai Kencana, 2004), xv.
[38] Din Syamsuddin, Upaya Pencarian, 43-44
[39] Masykuri Abdillah, Islam dan, 13.