Abstrak
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, jaminan kehalalan sebuah produk menjadi hal yang urgent bagi umat Islam di tengah beredarnya produk-produk di pasar global. Umat Islam sebagai salah satu konsumen terbesar yang menjadi target bagi produsen dunia, mengharapkan agar setiap produk yang akan dikonsumsi harus terjamin kehalalannya. Jaminan kehalalan tersebut ditandai dengan adanya labelisasi dan sertifikasi halal pada setiap produk.
Kajian ini akan membandingkan 2 negara yang memiliki latar keagamaan yang berbeda, yaitu Thailand mewakili negara mayoritas penduduknya non-muslim, dan Uni Emirat Arab mewakili negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kata Kunci: Sertifikasi Halal, produk halal, Thailand, Uni Emirat Arab.
Pendahuluan
Masalah halal dan haram dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab masalah tersebut meliputi hampir sebagian besar ajaran Islam. Pada garis besarnya ajaran Islam itu terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, berisi perintah-perintah (awamir) yang harus dikerjakan oleh umat Islam baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka Bumi. Kedua, berisi larangan-larangan (al-Nawahi) yang harus ditinggalkan oleh umat Islam. Ketiga, petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dari kelompok pertama, lahirlah ajaran yang harus ditaati dan dari kelompok kedua lahirlah ajaran yang harus dijauhi dan dihindari. Kelompok pertama berkaitan erat dengan masalah halal, sedangkan masalah haram berkaitan dengan kelompok ajaran yang kedua.
Pada era perdagangan bebas yang telah membuka keran impor lebar-lebar, berbagai macam produk impor seperti makanan olahan, obat-obatan dan kosmetika. Hal ini menjadi ancaman baik secara ekonomis maupun secara agamis. Secara ekonomis, kehadiran produk-produk tersebut menjadi saingan produk lokal. Secara agamis kehadiran produk-produk tersebut semakin menambah daftar makanan yang disanksikan kehalalannya oleh umat Islam. Sebab, produk tersebut dibuat oleh negara-negara barat yang sudah terbiasa menggunakan babi dan alcohol dalam proses produksinya.
Akibatnya, sebagian besar produk itu diragukan kehalalannya baik yang diproduksi di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai produk impor. Hal ini diperparah lagi oleh ketidakpedulian produsen makanan terhadap kehalalan makanan yang mereka hasilkan. [1]
Pada makalah ini, pemakalah ingin mengkaji tentang program dan kebijakan sertifikasi halal di dua negara. Negara yang dipilih adalah negara Thailand dan Uni Arab Emirat (UAE). Thailand bukan negara mayoritas Islam, sedangkan UAE adalah negara mayoritas muslim yang menerapkan Syari`at Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan dan program kedua negara yang berbeda latar keagamaannya dalam masalah sertifikasi halal.
Urgensi Sertifikasi Halal
Allah Swt melalui berbagai firman-Nya menyuruh kita untuk selalu mengonsumsi pangan yang halal dan thayyib. Perintah tersebut terdapat dalam surat al-Maidah (5): 88, al-baqarah (2): 168, 172, al-A`raf (7): 160, al-Anfal (8): 69 dan al-Nahl (16): 114. Berdasarkan pada ayat-ayat tersebut, terdapat dua kriteria pangan yang dikonsumsi yaitu halal dan thayyib.[2]
Cakupan halal dalam ayat tersebut meliputi halal dari segi zatnya yaitu pangan yang tidak termasuk yang diharamkan dan halal dari cara memperolehnya.[3] Sementara itu, yang dimaksud thayyib dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah pangan yang zatnya baik dan tidak membahayakan badan serta akal manusia.
Menurut Rasyid Ridha, thayyib berarti lezat yaitu setiap pangan yang dikehendaki oleh fitrah manusia yang sehat.[4] Menurut al-Qurthubi, lafaz thayyib dalam al-Qur`an yang terkait dengan pangan yang dikonsumsi manusia memiliki tiga arti diantaranya adalah sesuatu yang terasa lezat oleh yang memakannya atau meminumnya.[5]
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, yang dimaksud dengan thayyib dalam ayat tersebut mencakup semua pengertian yang telah dikemukakan para ulama di atas. Sebab secara lughawi, thayyib itu berarti baik, lezat, menentramkan, paling utama dan sehat. Lebih lanjut menurutnya, pangan yang thayyib adalah meliputi makanan yang tidak kotor dari segi zatnya, tidak rusak (kadaluarsa) dan tidak tercampur najis. Juga, pangan yang mengandung selera yang memakannya tetapi tidak membahayakan fisik dan akalnya. Dengan demikian, pangan tersebut proporsional, aman dan sehat.[6]
Pada dasarnya semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara tegas dinyatakan keharamannya baik dalam al-Qur`an dan Sunnah. Jumlah dan jenis pangan yang diharamkan dalam kedua sumber hukum islam tersebut sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan yang halal. Oleh karena itu, sebenarnya yang dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram. Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat islam itu sebenarnya bukanlah sertifikat halal, tetapi sertifikat haram, sebab sertifikat haram tersebut berdampak serius baik secara ekonomis maupun politis seperti dalam kasus ajinimoto. Oleh karena itu, yang diberlakukan adalah sertifikat halal dan ternyata tidak menimbulkan perselisihan dan bahkan menentramkan hati umat islam.[7]
Dulu, kehalalan makanan dapat dengan mudah diketahui melalui bahan baku yang digunakan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang pangan, penentuan kehalalan makanan tidak sederhana. Bercampur aduknya barang halal ke dalam barang haram menjadikan produk tersebut shubuhât.
Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan keamanan, kehalalan dan ketenteraman batin kepada konsumen, pemerintah menunjuk lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi halal. Perkembangan di bidang teknologi pangan dan penganekaragaman pangan mengharuskan kajian mendalam terhadap fakta baru yang belum terjadi pada masa Nabi atau dibahas dalam fiqh klasik. Fakta tersebut menjadi isu kontemporer yang membutuhkan kejelian dalam mencarikan korelasinya di buku referensi para ulama terdahulu. Penentuan fatwa halal menjadi domain lembaga keulamaan karena berkaitan dengan istinbât hukum.[8]
Pada era perdagangan bebas yang telah membuka lebar peluang ekspor produk, termasuk di dalamnya pangan olahan, obat-obatan dan kosmetika. Peluang ekspor tersebut harus dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan sebaik-baiknya, dengan mengikuti ketentuan standar internasional di antaranya labelisasi halal.
Proteksi terhadap konsumen Muslim dengan melakukan sertifikasi halal telah menjadi tuntutan Internasional. Tidak hanya di negara mayoritas Muslim, tetapi juga di negara sekuler. Malaysia memiliki JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), Filipina menunjuk Office Muslim Affair (OMA), Singapura mendirikan Majelis Ulama Islam Singapure, Jepang memiliki Islamic Culture Center Kyushu, Halal Integrity Development Association (Taiwan), Westren Australian Halal Authority (WAHA) di Australia, American Halal Foundation (AHF) merupakan salah satu lembaga pensertifikat halal yang ditunjuk di USA, Islamic Dessimination Center For Latin America (CDIL) di Brasil, Belanda memiliki Total Quality Halal Correct Certification (TQHCC) dan berbagai negara lainnya
Thailand yang agama resmi negara adalah Buddha, memiliki dua lembaga kajian halal, yaitu : Halal Standard Institute of Thailand dan The Halal Science Center Thailand. Sementara lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal adalah Central Islamic Council of Thailand (CICOT).
Thailand berupaya untuk membangun sistem standart halal sebagai respons untuk memenuhi kebutuhan halal food wisatawan Muslim. Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Bahkan sektor pariwisata menjadi sektor utama penggerak perekonomian negara.[9]
Sedangkan di Uni Arab Emirat, pemerintah bekerja sama dengan lembaga IHAF yang memiliki anggota dari beberapa negara. IHAF adalah lembaga independen yang peduli dan concern terhadap masalah halal dan haram sebuah produk, sehingga IHAF mengikuti standar produk halal internasional.
Setelah dibentuk di Dubai pada November 2016 lalu, International Halal Accreditation Forum (IHAF) atau Forum Akreditasi Halal Internasional terus melakukan gebrakan-gebrakan. IHAF menerapkan standardisasi halal global untuk produk obat-obatan atau farmasi.
Penerapan standardisasi ini dalam rangka memenuhi kebutuhan industri farmasi dalam memproduksi obat-obatan halal yang kini semakin diminati oleh pangsa pasar global. Forum Akreditasi Halal Internasional (IHAF) akan menerapkan standardisasi halal global untuk produk obat-obatan. Standardisasi ini untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi dalam memproduksi obat-obatan halal yang kini semakin diminati oleh pangsa pasar global.
Sekretaris Jenderal IHAF Mohammed Saleh Badri mengatakan, kesadaran konsumen terhadap produk obat-obatan halal kini semakin meningkat dan permintaannya juga terus berkembang pesat dari tahun ke tahun. Namun selama ini masih belum ada standardisasi maupun aturan skala internasional yang komprehensif untuk menjaga kepatuhan halal di industri farmasi.[10]
Selain menciptakan standar, IHAF juga melakukan kampanye mengenai manfaat dari produk farmasi halal. Nantinya, standardisasi ini akan fokus pada vaksin dan produk obat-obatan untuk batuk, demam, serta sakit kepala. Berdasarkan laporan dari Global Ekonomi Islam, menyebutkan bahwa umat muslim telah menghabiskan 286 miliar AED per tahun untuk obat-obatan halal. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa ada lima negara yang menjadi pangsa pasar produk farmasi halal terbesar yakni Turki, Arab Saudi, Amerika Serikat, Indonesia, dan Aljazair.[11]
Selain bidang farmasi, IHAF bekerja sama dengan pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) akan melakukan proses sertifikasi halal pada layanan pengiriman makanan secara online. langkah ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengesahkan berbagai produk dan tempat dengan sertifikasi halal serta menyatukan standar halal dengan system internasional. Layanan pengiriman makanan secara online dianggap sebagai daerah baru untuk memastikan standar halal di UAE.
Perusahaan yang melakukan bisnis pengiriman makanan secara online akan diberikan sosialisasi terkait langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh sertifikat halal. Mereka harus mendaftar terlebih dahulu dengan Badan Pengawas. [12]
Perbandingan Thailand dan Uni Arab Emirat (IHAF)
Sisi persamaan dalam program sertifikasi halal antara Thailand dan UAE, antara lain:
- Aspek Ekonomi dan Bisnis
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan di atas bahwa antara Thailand dan UAE sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi dan bisnis dalam program sertifikasi Halal, ditambah lagi dengan majunya aspek pariwisata menjadikan kedua negara tersebut untuk memberikan jaminan terhadap produk dan makanan yang halal dan efisien.
- Aspek Agama
Antara Thailand dan UAE sangat kental dengan nilai-nilai agama, Thailand sangat kental dengan nilai-nilai Buddha, sedangkan UAE kental dengan nilai-nilai Islam dan Syari`ah. Kedekatan kedua negara ini dengan nilai-nilai spiritual nampaknya menjadikan gerakan halal lebih diterima. Tiap agama pasti memiliki aturan terkait dengan aspek kebersihan dan efisiensi produk makanan dan sebagainya.
Perbedaan antara Thailand dan UAE dalam penanganan sertifikasi halal, antara lain:
- Aspek spirit
Dengan adanya program sertifikasi halal, pemerintahan Thailand sangat diuntungkan. Sedangkan bagi umat Islam Thailand, sertifikasi halal bertujuan untuk melindungi umat Islam dari mengonsumsi barang haram, Karena secara umum memang sangat sulit untuk mendapatkan produk yang halal. Dengan adanya sertifikasi halal, umat Islam Thailand memiliki panduan untuk memperoleh barang-barang halal di tengah melimpahnya barang tidak halal, maka dalam hal ini hubungan antara agama dan negara bersifat saling menguntungkan dan saling memanfaatkan.
Sedangkan di UAE, kesadaran akan produk halal sudah menjadi bagian dari kebutuhan kehidupan masyarakat yang mayoritas muslim, sehingga sangat mudah untuk menemukan produk halal.
- Peran Negara
Sertifikasi halal di Thailand sampai saat ini masih dipegang oleh CICOT, semacam MUI Thailand, dan belum ada rencana untuk diambil alih oleh negara. Dilihat dari jumlah umat Islam di Thailand, nampaknya persoalan sertifikasi halal tetap akan menjadi gerakan civil society.
Sedangkan UAE, Karena islam dan negara telah menjadi satu dalam program sertifikasi halal dan menjadi hal yang wajar ketika negara mengurusi persoalan keislaman dan keagamaan lainnya, diantaranya program sertifikasi halal.
Kesimpulan
Sertifikasi halal di Thailand menjadi wewenang Central Islamic Council of Thailand (CICOT) yang merupakan wadah ulama Thailand di tingkat nasional. Dukungan negara berupa pendanaan dan fasilitas pendukungnya.
Sedangkan di UAE yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kesadaran untuk mengkonsumsi makanan halal sudah menjadi bagian daripada kepentingan umat dan negara. Sehingga UAE dalam hal ini IHAF, melakukan inovasi bukan hanya pada makanan saja, akan tetapi sudah merambah pada aspek farmasi dan pemesanan makanan on line. Langkah maju yang dilakukan oleh IHAF yaitu penyatuan standarisasi halal dengan system internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth, juz VI.
http://republika.co.id/berita/internasional/global/17/03/07/omfaxl365-ihaf-akan-susun-standardisasi-global-produk-farmasi-halal, 16 Maret 2017.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur`an al-Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, juz I.
- Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera hati, 2001, jilid III.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, tt: Dar al-Fikr, tth), cet ke-2, juz VII.
Mutimmatul Faidah, Sertifikasi halal di Indonesia dari Civil Society menuju relasi kuasa antara negara dan agama, jurnal Islamica vol. 11 no. 2, 2017.
Republika.co.id, Sertifikasi Halal di Uni Emirat Arab Bidik Pengiriman Makanan Online. Rabu , 29 March 2017.
Sopa, Sertifikasi Halal MUI: Studi atas Fatwa halal MUI terhadap produk makanan, obat-obatan dan kosmetika, Jakarta: GP Press, 2013.
The Central Islamic Committee of Thailand (2009) Regulation of the Central Islamic Committee of Thailand Regarding Halal Affair Operation of B.E. 2552.
[1] Sopa, Sertifikasi Halal MUI: Studi atas Fatwa halal MUI terhadap produk makanan, obat-obatan dan kosmetika, (Jakarta: GP Press, 2013), 1-4.
[2] Sopa, sertifikasi halal MUI………, 14
[3] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (tt: Dar al-Fikr, tth), cet ke-2, juz VII, 26.
[4] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur`an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz I, 253.
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), juz VI, 45.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2001), jilid III, 24.
[7] Sopa, Sertifikasi halal MUI…….., 18-19.
[8] Mutimmatul Faidah, Sertifikasi halal di Indonesia dari Civil Society menuju relasi kuasa antara negara dan agama, jurnal Islamica vol. 11 no. 2, 2017, 454.
[9] Mutimmatul Faidah, Sertifikasi halal di Indonesia dari Civil Society menuju relasi kuasa antara negara dan agama, jurnal Islamica vol. 11 no. 2, 2017, 467.
[10]http://republika.co.id/berita/internasional/global/17/03/07/omfaxl365-ihaf-akan-susun-standardisasi-global-produk-farmasi-halal.
[11]http://republika.co.id/berita/internasional/global/17/03/07/omfaxl365-ihaf-akan-susun-standardisasi-global-produk-farmasi-halal, 16 Maret 2017.
[12] Republika.co.id, Sertifikasi Halal di Uni Emirat Arab Bidik Pengiriman Makanan Online. Rabu , 29 March 2017.